GERAKAN YANG TERSADAP

PADA 21 Mei kurang lebih satu dasa warsa yang lalu, gegap gempita jutaan pemuda turun ke jalan menyambut satu fase baru kehidupan demokrasi di Indonesia. Yakni, tatanan yang diharapkan tidak hanya memberikan kebebasan, tetapi juga kehidupan yang lebih baik bagi seluruh rakyat Indonesia. Orde people power. Fase itu dibayar dengan nyawa, darah, dan perjuangan pemikiran kelas muda terdidik dengan menyuarakan reformasi untuk berdiri tegak menumbangkan era terkatup, otoriter, dan hegemonik.

Babak baru tersebut kini sedang berlangsung. Berbagai perubahan-perubahan mendasar telah terjadi. Kebebasan bersuara tidak lagi terbungkam. Civil society tidak lagi berada dalam genggaman kuat negara, melainkan menemukan tempat apa yang disebut oleh Jurgen Habermas (1962) sebagai public sphere. Kehidupan demokrasi mulai menjalar ke segala aspek ruang sosial politik, dari organisasi di tingkat RT hingga ruang kultural lainnya.

Dalam kencenderungan demikian, menutup public sphere berarti melawan arus mainstream yang pada akhirnya akan mendapatkan perlawanan dari masyarakat. Karenanya, kebebasan berpendapat bukan hasil jerih payah pemerintah atau rezim penguasa paska Orde Baru, melainkan hasil keinginan publik untuk menciptakan public sphere dimana jika penguasa menentangnya akan bernasib tragis seperti Soeharto. Maka, mau tidak mau, negara/penguasa “terpaksa” untuk menjaga public sphere tetap terbuka.

Dus, reformasi harus diakui telah membuka ruang kebebasan berpendapat dan nalar kritis. Banyak yang mencibir jika reformasi telah gagal dalam menghantarkan perubahan karena nyawa dan jerih perjuangan para mahasiswa yang mendesak reformasi telah dibajak oleh kelas elite politik. Tapi, nada itu bukan lantas menjadikan dalih romantisme untuk kembali ke masa lampau. Pada level tertentu, reformasi telah berhasil membuka ruang kebebasan dimana negara tidak ditempatkan sebagai aktor tunggal pemasok kebenaran.

Runtuhnya poros kekuasaan tunggal dan otoriter negara, gerak elemen-elemen civil society mengalami perubahan konfigurasi dan orientasi. Perubahan ketatanegaraan dan wajah negara (baca; Pemilu/Pilkada) buah hasil perjuangannya gagal diantisipasi. Kelompok-kelompok sosial tersebut yang mulanya menjadi “penyambung lidah” masyarakat bergerak menjadi bagian dari kelompok yang menopang dan menjadi elite yang dikontrol secara halus oleh buaian politik dan kekuasaan. Civil society justru tercerabut dari society-nya sendiri seperti gerakan mahasiswa terlepas dari citra agen sosialnya.

Akhirnya, reformasi yang didorong berubah menjadi mata badik yang membunuh. Para aktor dan elite tinggi di dalam civil society seperti organisasi mahasiswa, buruh, tani, dan berbagai elemen lainnya mulai mendistribusikan diri bukan sebagai penyeimbang kekuatan penguasa, tetapi beralih orientasi untuk menjadi bagian dari perebutan kekuasaan. Hal nyata yang tampak adalah banyak dari mereka yang terlibat secara langsung dalam suksesi-suksesi politik, baik di tingkat lokal hingga nasional yang ending goal-nya bukan didasarkan oleh nilai. Demonstrasi terjebak ke dalam logika proyek yang hanya digerakkan oleh seonggok kapital/uang/kekuasaan. Gerakan pun tersadap, senyap dan lenyap.

Laju demokrasi yang terus menanjak yang meletakkan suara rakyat sebagai penentu (vox populi vox die) seharusnya menjadi sarana untuk menggelontorkan penguatan peran politik masyarakat bawah.

Sayangnya, alih-alih bergerak demikian, justru peran social agent tersebut tereduksi oleh gerakan yang berorientasi kekuasaan. Menyuarakan isu tertentu hanya untuk menguntungkan kepentingan politik elite yang mereka dukung. Inilah mata badik yang mematikan gerakan civil society, tapi alpa diantisipasi.
Kegalaun di atas kemudian diperparah oleh ketidakberlanjutan gagasan dan ketidakbelangsungan ide/nilai yang dijadikan pegangan. Selama satu dasa warsa reformasi berhembus, estapeta gagasan terputus dari satu generasi ke generasi lainnya. Gagasan menyeluruh konsep, arah, dan langkah antisipasi struktur sosial, budaya, dan implikasi politik setelah reformasi yang belum tuntas itupun hilang sebelum berkembang.

Merebut Momentum

Oleh karena itu, tahun 2009 ini harus dijadikan momentum bagi seluruh elemen civil society untuk merekonsolidasi diri menyusun langkah ke depan dalam menjawab perubahan konfigurasi politik nasional. Sistem demokrasi yang memberikan ruang keterbukaan bagi rakyat untuk menentukan pilihan mereka sendiri sesungguhnya menjadi momentum untuk lebih mempertegas diri sebagai elemen “penyambung lidah” masyarakat. Orientasi kekuasaan yang seolah memerankan diri laiknya partai politik, harus dikikis jika nilai etis tidak dinihilkan.

Krisis ekonomi global terhebat pascakrisis 1930-an saat ini yang melanda dunia akibat sistem laissez faire kapitalisme ke depan akan menentukan formasi ekonomi dan politik dunia mendatang. Dan Indonesia akan termasuk di dalamnya. Tentu, dalam kondisi tersebut, pihak-pihak internasional pun memiliki kepentingan besar terhadap potensi ekonomi-politik Indonesia. Dalam momentum di tahun 2009 ini, Indonesia berada dalam kubangan pertarungan beragam kepentingan; kepentingan individu lokal, nasional, hingga elite/negara internasional.

Oleh karena itu, kejadian-kejadian politik pada tahun ini tidak hanya akan membawa Indonesia lima tahun ke depan, mungkin juga akan menjadi awal formasi Indonesia puluhan tahun mendatang. Persis seperti saat Soekarno digulingkan Orde Baru sebagai awal dari tertancapnya developmentalisme ala Talcott Parson selama tiga dasawarsa di Indonesia.

Pertanyaannya, peran dan gerakan seperti apa yang akan diambil oleh mahasiswa, buruh, tani, dan elemen-elemen civil society lainnya dalam momentum Pemilu 2009 ini?. Mungkinkah akan semakin terjerembab dalam tikaman badik politik hasil reformasi tanpa antisipasi yang pernah digaunginya?. Entahlah.

GERAKAN YANG TERSADAP

9 pemikiran pada “GERAKAN YANG TERSADAP

  1. salam Hijau Hitam…
    pertama, media belajar mahasiswa telah di batasi dilingkup kampus. kedua, sikap kritis masyarakat selalu di hadang dengan materi. ketika mahasiswa di bungkam oleh kata2 yang seharusnya “di lawan”, malah larut ke dalam retorika bahasa. ketika masyrakat bersikat kritis, sayang tidak pernah konsisiten. entahlah….

  2. nurdjaedi berkata:

    Reformasi telah berjalan 11 th. Bnyk sdh yg diraih bangsa ini. Namun sbg generasi kita tidak boleh lengah dengan kepentingan bangsa asing. Tesis Samuel Huntington. Bahwa setelah runtuhnya Uni Soviet, Jatuhnya Yugoslavia, dan hancur leburnya Irak. Maka Indonesia adalah sasaran empuk bangsa asing, karena banyaknya sumber daya alam di negeri Indonesia, dan Cina adalah sasaran kedua karena menguasai skonomi dunia.

  3. Ismu berkata:

    pertentangan antara pencinta keadilan dan pengagum kuasa masih akan terus terjadi.ini bukan sebuah hukum sosial yang bermaksud melemahkan semangat gerakan sosial dan civul soceity. pertentangan adalah fakta. sedang keresahan bg Hilman atas arah demokrasi yang semakin sulit dipahami itu adalah kerinduan atas tata hidup yg harmonis dan adil.maka gerakan politik (dalam arti yg sejatinya) pada lapisan bawah jangan sampai putus harapan.kebaikan dan kezhaliman akan selalu berperang.tp jangan diartikan perang ini sebagaimana pandangan kaum materialisme dialektika yg bilang bahwa pertentanganlah yg menggerakkan sejarah. sebab itu berarti melegitimasi kontradiksi agar sejarah tetap ada. katakan bahwa kejahatan memiliki nilai relatif. ia ada hanya ketika berelasi dengan baik. maka yg zalim akan binasa sebab yg hakiki adalah kebaikan yg didakwakan dengan hikmah dan kebijaksanaan. bukan kutukan dan caci maki…Ismu

Tinggalkan Balasan ke Ismu Batalkan balasan